what's going on

"...sometimes a song can say exactly what's going on in your life.."

Rabu, 25 Juli 2012

Hukum Lingkungan:Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup


Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
Banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang terjadi akhir-akhir ini seperti; banjir, kerusakan hutan, pencermaran air laut/darat, erosi tanah/lahan, dan abrasi pantai, tidak terlepas dari adanya anggapan bahwa sumber daya (air, udara, laut, hutan beserta kekayaan di dalamnya, dan lain-lain) adalah milik bersama. Tidak ada satu pun aturan yang membatasi pemanfaatan sumber milik bersama itu, sehingga terjadilah eksploitasi yang berlebihan. Setiap pemanfaat menggunakannya semaksimal mungkin dengan asumsi bahwa orang lain akan memanfaatkan sumber tersebut bila tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Dari kaca mata ekonomi, penyalahgunaan pemanfaatan sumber milik bersama timbul karena tidak adanya mekanisme keseimbangan yang muncul dengan sendirinya guna dapat membatasi eksploitasi. Sehingga, dampak/efek lingkungan yang timbul tidak dimasukkan dalam biaya internal usahanya. Misalnya, beberapa hotel dan restoran di Kuta, atau usaha penyablonan tekstil, umumnya meminimumkan ongkos/biaya dengan cara membung limbahnya ke tanah atau ke sungai tanpa melalui suatu sistem pengolahan. Cara tersebut tentu dapat mencemarkan badan sungai/tanah/pantai dan akan menimbulkan ongkos untuk pembersihannya. Hal tersebut harus diderita oleh masyarakat kita sendiri sebagai pengguna sumber daya, secara langsung maupun tidak langsung.
Hal lain adalah akibat terjadinya pelanggaran-pelanggaran lokasi tempat bisnis/usaha seperti yang terjadi di sepanjang jalur Tohpati-Kusamba. Di samping itu, ketidaktahuan masyarakat dan institusi dapat pula menjadi penyebab terjadinya dampak/efek lingkungan hidup itu, seperti; banyak petani yang belum memahami bahaya penggunaan pestisida. Atau sistem institusi belum maksimal dapat menunjang pencegahan perusakan lingkungan hidup walaupun pada dasarnya masyarakat sudah menyadari dampak/efek kerusakan lingkungan tersebut. Selama ini pertumbuhan produk domestik regional bruto (PDRB) menjadi ukuran keberhasilan suatu daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kondisi yang demikian menyebabkan para ekonom dan pembuat keputusan mencari hubungan yang lebih mendalam tentang ekonomi, siklus, bisnis dan ketenagakerjaan. Mereka yang senang dengan tolok ukur ini umurnya tidak mempedulikan tentang masalah lingkungan atau langkanya suatu sumberdaya alam. Sehingga adanya penurunan sumberdaya alam, dan kerusakan lingkungan sama sekali tidak tercermin dalam indikator tersebut.
Dalam masa kini, banyak instrumen lingkungan hidup yang hanya menjadi macan ompong tanpa dapat berbuat banyak melihat kerusakan lingkungan hidup dan penurunan sumber daya alam yang telah terjadi. Contoh kecil, adanya pencemaran limbah hotel/restoran di Kuta atau limbah sablon/pencelupan. Kendati sudah membuat masyarakat sekitarnya resah, para pelaku belum bisa dijerat dengan pasal-pasal dari Undang-Undang Lingkungan Hidup. Padahal ancaman bagi pelaku pencemar lingkungan sangat berat, 15 tahun penjara dan denda Rp 750 juta. Kesulitan lain adalah masih adanya pelaku-pelaku bisnis yang tak memperhatikan dokumen lingkungan seperti dokumen upaya kelola lingkungan (UKI) dan dokumen upaya pemantauan lingkungan (UPL), atau dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), padahal dokumen tersebut telah disepakasi untuk dilaksanakan.
Dalam perkembangan di masa mendatang lingkungan hidup perlu dicegah kerusakannya, sehingga ajeg Bali yang telah disepakati bersama benar-benar dapat terealisasi. Yang menjadi permasalahannya kini adalah bagaimana mensinergikan pengusaha/pelaku bisnis dapat melakukan usaha atau kegiatannya tanpa merasa dibebani oleh faktor biaya mutu lingkungan hidup tersebut. Selama ini kerusakan sumber daya atau pencemaran yang terjadi oleh adanya suatu kegiatan bisnis/usaha umumnya ditanggung oleh masyarakat dan pemerintah. Konservasi sumber daya atau kegiatan rekondisi lingkungan hidup seperti, reklamasi pengamanan pantai, pembangunan drainase, dan sebagainya, memerlukan biaya yang cukup besar. Tetapi tidak sedikit pelaku bisnis menganggap bahwa PHR-lah sebagai konsekuensi harga yang diberikan kepada pemerintah. Penggunaan anggaran tersebut hanya sebagian kesil saja yang benar-benar digunakan untuk konservasi lingkungan hidup di Bali. Untuk itu penggunaan instrumen ekonomi selayaknya dapat segera diterapkan karena dari satu sisi instrumen tersebut dapat mempengaruhi estimasi harga tetapi juga akan memberikan suatu keputusan perilaku bisnis/usaha yang lebih  mengutamakan konservasi sumber daya dan pemulihan lingkungan hidup. Pemanfaatan instrumen ekonomi tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara.
1.            Pertama, mendorong konsumen agar tidak menghamburkan penggunaan sumberdaya alam, misalnya air atau energi. Bila konsumen semakin banyak menggunakan sumber daya tersebut, maka biaya yang harus dibayar konsumen diperhitungkan meningkat secara progresif.
2.            Kedua, melakukan retribusi limbah/emisi bagi suatu kegiatan yang mengeluarkan limbah cair atau gas ke media lingkungan. Jumlah dan kualitas limbah/emisi ini diukur, dan retribusi/pungutan dikenakan berdasarkan ketetapan yang telah disusun, sehingga pelaku bisnis/usaha akan suilt menghindar dari konsekuensi tanggung jawabnya untuk ikut berperan aktif menjaga kelestarian lingkungan hidup.
3.            Ketiga, melakukan defosit-refund, yaitu membeli sisa produk seperti bahan-bahan anorganik/plastik dari konsumen untuk didaur ulang kembali.
4.            Keempat, mewajibkan suatu kegiatan usaha untuk menyerahkan dana kinerja lingkungan sebagai penjamin bahwa pelaku kegiatan/usaha akan melaksanakan reklamasi/konservasi lingkungan hidup akibat dari kegiatan/usaha yang mereka lakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, terhadap kegiatan usaha penyimpanan bahan bakar/gas, kegiatan penambangan, usaha pengambilan air permukaan atau air dalam tanah, dan sebagainya. Hal ini akan sangat efektif dalam melakukan pengendalian kerusakan lingkungan hidup. Di Thamland sistem ini banyak  diterapkan/digunakan sebagai jaminan untuk pengendalian limbah beracun dan berbahaya.
Dalam revisi terakhir yang diajukan pakar lingkungan kita Sundari Rangkuti, bahwa instrumen kebijaksanan lingkungan ditetapkan oleh Pemerintah melalui berbagai sarana yang bersifat pencegahan atau stidak-tidaknya pemulihan sampai pada tahap norma kualitas lingkungan/ Kebijaksanaan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara begaimana penetapan tujuan dapat dicapai melalui pilihan optimal terhadap berbagai jenis instrumen kebijaksanaan lingkungan yang diselarakan dengan kesepakatan internasional yang meliputi sebagai berikuti: baku mutu lingkungan, AMDAL, izin lingkungan, instrumen ekonomik dan audit lingkungan. Instrumen ekonomik telah dituangkan di dalam principle 16 Dekrasi Rio dan penerapannya dilakukan melalui pajak atau pungutan pencemaran (pollution charge) seperti misalnya: “ air pollution fee”, : water pollution fee”, dan lain-lain.
Pelestarian daya dukung ekosistem (proses ekologis) merupakan prasyarat dari tercapai kualitas hidup generasi sekarang dan yang akan datang. Ini sesuai dengan 5 (lima) dokumen yang dihasilkan oleh UNCED, dan terdapat 5 (lima) prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yaitu:

1.      Keadilan antar generasi;
2.      Keadilan dalam satu generasi;
3.      Prinsip pencegahan dini;
4.      Perlindungan keanekaragaman hayati;
5.      Internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif .
Prinsip terakhir tentang internalisasi biaya lingkungan dan mekanisme insentif adalah suatu prinsip yang pada intinya untuk menekankan dari suatu keadaan , dimana penggunaan sumber daya alam (resourse use) kini merupakan kecenderungan atau reaksi dari dorongan pasar (market force and opportunity). Prinsip ini yang coba dikembangkan di dalam pasal 42-43 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Selama ini kepentingan yang tidak terwakili dalam pengambilan keputusan dalam menentukan harga pasar diabaikan dan menimbulkan dampak merugikan bagi mereka. Dampak yang dimaksud dengan istilah ekseternalitas, sebab kepentingan-kepentingan kelompok yang dirugikan merupakan komponen ekternal (yang tidak masuk hitungan) dalam proses pembentukan harga pasar.
Masyarakat yang menjadi korban dari pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup tidak memiliki suatu mekanisme untuk memaksa kelompok untuk membayar kerugian bagi kerusakan yang ditimbulkan tersebuut, kecuali pengadilan atau mekanisme resolusi konflik lainnya menentuhkan. Oleh karena itu sumber daya alam (SDA) yang biasanya “ open acces” harus diberi harga/nilai yang memadai.
Ini makna yang terkandung di dalam pasal 42 ayat (1) UU No.32 Tahun 2009 tentang PPLH, bahwa” dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup , Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup,”. Hal ini karena selama ini lingkungan tidak diberi nilai/harga, maka dalam perkembanganya manusia atau badan hukum (terutama yang berorintasi profit) banyak menggunakan SDA secara berlebihan (over use), dan cenderung membabat habis tanpa berpikir akibat bagi generasi yang akan datang. Tentu yang tersisa hanya derita dan bencana yang harus ditanggung baik harga, benda dan nyawa. Untuk itu usaha memberi suatu biaya lingkungan yang ada pada pasal 42-43 UU No.32 Tahun 2009 tentang PPLH, ini sebagai langka awal untuk mereformasi dari UU sebelumnya yakni UU No. 23 Tahun 1997 tentang PLH. Gagasan yang terkandung dalam pasal tersebut, sebagai penjawantaan dari prinsip biaya lingkungan dan sosial yang terintegrasikan ke dalam proses pengambilan keputusan yang berkiatan dengan penggunaan SDA , sehingga pada akhirnya terjadi internalisasi “eksertenalitas” dalam arti ekserternalitas harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan. Dengan memanfatakn instrument yang ada di UU tersebut berupa: pengaturan (larangan dan sanksi), charge, fees, leasing, perijinan, mekanisme property right dan lain-lain.
Usaha yang sudah pernah berupa mekanisme-mekanisme lainnya seperti program Peningkatan usaha dalam kontek program kali bersih (Proper Prokasih) yang diterapkan di Indonesia. Menurut Mas Agus Santoso, mekanisme yang dipakai dalm Proper Prokasih merupakan mekanisme insentif yang terkait dengan prinsip pembangunan berlanjutan ini, Karena pada dasarnya Proper Prokasih dan sejenisnya dimaksudkan untuk mengubah perilaku dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat melalui publikasi kinerja industry secara periodek.
Kedepan instrumen lingkungan hidup ini, sarana paling cepat dalam upaya pengendalian pencemaran, sehingga Pemerintah secepatnya membuat Peraturan Pemerintah seperti yang sudah diamanahkan dalam pasal 43 ayat (4) UU No.32 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup baru saja disahkan. Banyak hal yang diatur dalam Undang-Undang yang baru ini, salah satu diantaranya adalah tentang instrumen ekonomi dalam pengelolaan Lingkungan Hidup. Subyek ini merupakan sesuatu yang baru, pada undang-undang LH yang lama subyek ini belum diatur. Selama ini subyek instrumen ekonomi hampir belum pernah di tangani. Jadi hampir belum banyak orang yang mengerti apa lingkup instrumen ekonomi dalam pengelolaan hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 32/2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, instrumen ekonomi terdiri dari:
1.      Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi  meliputi:
2.      Neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;
3.      Penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup;
4.      Mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah;
5.      Internalisasi biaya lingkungan hidup.
Instrumen pendanaan lingkungan hidup meliputi:
1.      Dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;
2.      Dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup;
3.      Dana amanah/bantuan untuk konservasi.
Insentif dan/atau disinsentif lingkungan hidup antara lain diterapkan dalam bentuk:
1.      Pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup;
2.      Penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup;
3.      Pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup;
4.      Pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi;
5.      Pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup;
6.      Pengembangan asuransi lingkungan hidup;
7.      Pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup;
8.      Sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Substansi Undang-Undang ini masih sangat umum. Karena itu Undang-undang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Substansi instrumen ekonomi ini, memuat beberapa terobosan baru dalam upaya pengendalian lingkungan hidup. Masalahnya adalah seberapa jauh substansi ini dapat dilakukan secara operasional. Ambillah contoh substansi  instrumen pendanaan lingkungan. Point ini membuka kemungkinan sumber-sumber pendanaan bagi pengelolaan dan perlindungan lingkungan.  ada kewajiban dari berbagai pihak untuk menyediakan dana bagi pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
Instrumen ekonomi adalah amanat undang-undang, karena itu tidak ada alasan untuk tidak melaksanakannya.  Setiap orang adalah subyek dari undang-undang ini, karena itu adalah kewajiban semua orang untuk melaksanakannya. Substansi instrumen ekonomi, sekaligus merupakan peluang bagi usaha. Dengan undang-undang itu, akan dikembangkan usaha-usaha untuk memfasilitasi pelaksanaan instrumen ekonomi. Peluang usaha ini tentu akan membutuhkan tenaga kerja yang cukup baik untuk pelaksanaannya.
Masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih diuji dengen pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat. 
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) mendasari kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, karena Undang-Undang, peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya merupakan instrumen kebijaksanaan (instrumenten van beleid). Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan dami kepastian hukum dan mencerminkan arti penting hukum bagi penyelesaian masalah lingkungan. Instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan (juridische milieubeleidsinstrumenten) tetapkan oleh pemerintah melalui berbagai sarana yang bersifat pencegahan, atau setidak-tidaknya pemulihan, sampai tahap normal kualitas lingkungan.[1])
Upaya penegakan hukum lingkungan yang konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional.
Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
1.      Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
2.      Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
3.      Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Selama ini pemerintah harus memberikan Sanksi administrasi yang merupakan suatu upaya hukum yang harus dikatakan sebagai kegiatan preventif oleh karena itu sanksi administrasi perlu ditempuh dalam rangka melakukan penegakan hukum lingkungan. Disamping sanksi-sanksi lainnya yang dapat diterapkan seperti sanksi pidana.
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangkan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).
Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila :
1.      Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau
2.      Antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup.

 Berdasarkan jenisnya ada beberapa jenis sanksi administaratif yaitu

1.      Bestuursdwang (paksaan pemerintahan).
Diuraikan sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari pengusaha guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-undang.
2.      Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin pembayaran, subsidi).
Penarikan kembali suatu keputusan yang menguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak termasuk apabila keputusan(ketetapan) tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifanya “dapat diakhiri” atau diatrik kembali (izin, subsidi berkala).[3]
Instrument kedua yang diberlakukan setelah sanksi administrative tidak diindahakan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah pengguna instrument perdata dan pidana , kedua instrument sangsi huku ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri .
Penerapan sanksi pidana tersebut bisa saja terjadi karena pemegang kendali penerapan instrument sanksi pidana adalah aparat penegak hokum dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri (PPNS) yang berada tingkat pusat dalam hal ini di Kementrian Negara Lingkungan Hidup atau Instansi Lingkungan Hidup Daerah dan Penyidik Kepolisian RI hal ini sebagai mana diatau dalam ketentuan UU Nomor 23 Tahun 1997 pasal Pasal 40 :
1.      Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
2.      Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a)      melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
b)      melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
c)      meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
d)     melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
e)      melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
f)       meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

3.      Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasilpenyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
4.      Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud padaayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
5.      Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan penerapan instrument perdata biasa dilakukan oleh pemerintah maupun Masyarakat dan organisasi yang konsen terhadap lingkungan hidup yang mempunyai Hak Untuk Mengajukan Gugatan yang di atu dlam ketentuan Pasal 37, Pasal 38 dan Pasal 39 UU Nomor 23 Tahun 1997 mekanismenya bisa dengan mengajukan gugatan perdata biasa secara perorangan amapun secara class action (perwakilan). Sedangkan utuk gugatan legal stending yang didasarkan pada suatu asumsi bahwa LSM sebagai guardian/wali dari lingkungan (Stone;1972). Teori ini memberikan hak hukum (legal right) kepada obyek-obyek alam (natural objects). Dalam hal terjadi kerusakan atau pencemaran lingkungan, maka LSM dapat bertindak sebagai wali mewakili kepentingan pelestarian lingkungan tersebut.

1 komentar: