Instrumen
Ekonomi Lingkungan Hidup
Banyaknya permasalahan lingkungan hidup yang terjadi
akhir-akhir ini seperti; banjir, kerusakan hutan, pencermaran air laut/darat,
erosi tanah/lahan, dan abrasi pantai, tidak terlepas dari adanya anggapan bahwa
sumber daya (air, udara, laut, hutan beserta kekayaan di dalamnya, dan
lain-lain) adalah milik bersama. Tidak ada satu pun aturan yang membatasi
pemanfaatan sumber milik bersama itu, sehingga terjadilah eksploitasi yang
berlebihan. Setiap pemanfaat menggunakannya semaksimal mungkin dengan asumsi
bahwa orang lain akan memanfaatkan sumber tersebut bila tidak dimanfaatkan
semaksimal mungkin.
Dari kaca mata ekonomi, penyalahgunaan pemanfaatan
sumber milik bersama timbul karena tidak adanya mekanisme keseimbangan yang muncul
dengan sendirinya guna dapat membatasi eksploitasi. Sehingga, dampak/efek
lingkungan yang timbul tidak dimasukkan dalam biaya internal usahanya.
Misalnya, beberapa hotel dan restoran di Kuta, atau usaha penyablonan tekstil,
umumnya meminimumkan ongkos/biaya dengan cara membung limbahnya ke tanah atau
ke sungai tanpa melalui suatu sistem pengolahan. Cara tersebut tentu dapat
mencemarkan badan sungai/tanah/pantai dan akan menimbulkan ongkos untuk
pembersihannya. Hal tersebut harus diderita oleh masyarakat kita sendiri
sebagai pengguna sumber daya, secara langsung maupun tidak langsung.
Hal lain adalah akibat terjadinya
pelanggaran-pelanggaran lokasi tempat bisnis/usaha seperti yang terjadi di
sepanjang jalur Tohpati-Kusamba. Di samping itu, ketidaktahuan masyarakat dan
institusi dapat pula menjadi penyebab terjadinya dampak/efek lingkungan hidup
itu, seperti; banyak petani yang belum memahami bahaya penggunaan pestisida.
Atau sistem institusi belum maksimal dapat menunjang pencegahan perusakan
lingkungan hidup walaupun pada dasarnya masyarakat sudah menyadari dampak/efek
kerusakan lingkungan tersebut. Selama ini pertumbuhan produk domestik regional
bruto (PDRB) menjadi ukuran keberhasilan suatu daerah dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Kondisi yang demikian menyebabkan para ekonom dan
pembuat keputusan mencari hubungan yang lebih mendalam tentang ekonomi, siklus,
bisnis dan ketenagakerjaan. Mereka yang senang dengan tolok ukur ini umurnya
tidak mempedulikan tentang masalah lingkungan atau langkanya suatu sumberdaya
alam. Sehingga adanya penurunan sumberdaya alam, dan kerusakan lingkungan sama
sekali tidak tercermin dalam indikator tersebut.
Dalam masa kini, banyak instrumen lingkungan hidup
yang hanya menjadi macan ompong tanpa dapat berbuat banyak melihat kerusakan
lingkungan hidup dan penurunan sumber daya alam yang telah terjadi. Contoh
kecil, adanya pencemaran limbah hotel/restoran di Kuta atau limbah
sablon/pencelupan. Kendati sudah membuat masyarakat sekitarnya resah, para
pelaku belum bisa dijerat dengan pasal-pasal dari Undang-Undang Lingkungan
Hidup. Padahal ancaman bagi pelaku pencemar lingkungan sangat berat, 15 tahun
penjara dan denda Rp 750 juta. Kesulitan lain adalah masih adanya pelaku-pelaku
bisnis yang tak memperhatikan dokumen lingkungan seperti dokumen upaya kelola
lingkungan (UKI) dan dokumen upaya pemantauan lingkungan (UPL), atau dokumen
analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), padahal dokumen tersebut telah
disepakasi untuk dilaksanakan.
Dalam perkembangan di masa mendatang lingkungan
hidup perlu dicegah kerusakannya, sehingga ajeg Bali yang telah disepakati
bersama benar-benar dapat terealisasi. Yang menjadi permasalahannya kini adalah
bagaimana mensinergikan pengusaha/pelaku bisnis dapat melakukan usaha atau
kegiatannya tanpa merasa dibebani oleh faktor biaya mutu lingkungan hidup
tersebut. Selama ini kerusakan sumber daya atau pencemaran yang terjadi oleh
adanya suatu kegiatan bisnis/usaha umumnya ditanggung oleh masyarakat dan
pemerintah. Konservasi sumber daya atau kegiatan rekondisi lingkungan hidup
seperti, reklamasi pengamanan pantai, pembangunan drainase, dan sebagainya,
memerlukan biaya yang cukup besar. Tetapi tidak sedikit pelaku bisnis
menganggap bahwa PHR-lah sebagai konsekuensi harga yang diberikan kepada
pemerintah. Penggunaan anggaran tersebut hanya sebagian kesil saja yang
benar-benar digunakan untuk konservasi lingkungan hidup di Bali. Untuk itu
penggunaan instrumen ekonomi selayaknya dapat segera diterapkan karena dari
satu sisi instrumen tersebut dapat mempengaruhi estimasi harga tetapi juga akan
memberikan suatu keputusan perilaku bisnis/usaha yang lebih mengutamakan konservasi sumber daya dan
pemulihan lingkungan hidup. Pemanfaatan instrumen ekonomi tersebut dapat
dilakukan dengan beberapa cara.
1.
Pertama, mendorong
konsumen agar tidak menghamburkan penggunaan sumberdaya alam, misalnya air atau
energi. Bila konsumen semakin banyak menggunakan sumber daya tersebut, maka
biaya yang harus dibayar konsumen diperhitungkan meningkat secara progresif.
2.
Kedua, melakukan
retribusi limbah/emisi bagi suatu kegiatan yang mengeluarkan limbah cair atau
gas ke media lingkungan. Jumlah dan kualitas limbah/emisi ini diukur, dan
retribusi/pungutan dikenakan berdasarkan ketetapan yang telah disusun, sehingga
pelaku bisnis/usaha akan suilt menghindar dari konsekuensi tanggung jawabnya
untuk ikut berperan aktif menjaga kelestarian lingkungan hidup.
3.
Ketiga, melakukan
defosit-refund, yaitu membeli sisa produk seperti bahan-bahan anorganik/plastik
dari konsumen untuk didaur ulang kembali.
4.
Keempat, mewajibkan
suatu kegiatan usaha untuk menyerahkan dana kinerja lingkungan sebagai penjamin
bahwa pelaku kegiatan/usaha akan melaksanakan reklamasi/konservasi lingkungan
hidup akibat dari kegiatan/usaha yang mereka lakukan, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Misalnya, terhadap kegiatan usaha penyimpanan bahan
bakar/gas, kegiatan penambangan, usaha pengambilan air permukaan atau air dalam
tanah, dan sebagainya. Hal ini akan sangat efektif dalam melakukan pengendalian
kerusakan lingkungan hidup. Di Thamland sistem ini banyak diterapkan/digunakan sebagai jaminan untuk
pengendalian limbah beracun dan berbahaya.
Dalam revisi terakhir yang diajukan pakar lingkungan
kita Sundari Rangkuti, bahwa instrumen kebijaksanan lingkungan ditetapkan oleh
Pemerintah melalui berbagai sarana yang bersifat pencegahan atau
stidak-tidaknya pemulihan sampai pada tahap norma kualitas lingkungan/
Kebijaksanaan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara
begaimana penetapan tujuan dapat dicapai melalui pilihan optimal terhadap
berbagai jenis instrumen kebijaksanaan lingkungan yang diselarakan dengan
kesepakatan internasional yang meliputi sebagai berikuti: baku mutu lingkungan,
AMDAL, izin lingkungan, instrumen ekonomik dan audit lingkungan. Instrumen
ekonomik telah dituangkan di dalam principle 16 Dekrasi Rio dan penerapannya
dilakukan melalui pajak atau pungutan pencemaran (pollution charge) seperti
misalnya: “ air pollution fee”, : water pollution fee”, dan lain-lain.
Pelestarian daya dukung ekosistem (proses ekologis)
merupakan prasyarat dari tercapai kualitas hidup generasi sekarang dan yang
akan datang. Ini sesuai dengan 5 (lima) dokumen yang dihasilkan oleh UNCED, dan
terdapat 5 (lima) prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
yaitu:
1. Keadilan
antar generasi;
2. Keadilan
dalam satu generasi;
3. Prinsip
pencegahan dini;
4. Perlindungan
keanekaragaman hayati;
5. Internalisasi
biaya lingkungan dan mekanisme insentif .
Prinsip terakhir tentang internalisasi biaya
lingkungan dan mekanisme insentif adalah suatu prinsip yang pada intinya untuk
menekankan dari suatu keadaan , dimana penggunaan sumber daya alam (resourse
use) kini merupakan kecenderungan atau reaksi dari dorongan pasar (market force
and opportunity). Prinsip ini yang coba dikembangkan di dalam pasal 42-43 UU
No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Selama ini kepentingan yang tidak terwakili dalam
pengambilan keputusan dalam menentukan harga pasar diabaikan dan menimbulkan
dampak merugikan bagi mereka. Dampak yang dimaksud dengan istilah
ekseternalitas, sebab kepentingan-kepentingan kelompok yang dirugikan merupakan
komponen ekternal (yang tidak masuk hitungan) dalam proses pembentukan harga
pasar.
Masyarakat yang menjadi korban dari pencemaran dan
kerusakan lingkungan hidup tidak memiliki suatu mekanisme untuk memaksa
kelompok untuk membayar kerugian bagi kerusakan yang ditimbulkan tersebuut,
kecuali pengadilan atau mekanisme resolusi konflik lainnya menentuhkan. Oleh
karena itu sumber daya alam (SDA) yang biasanya “ open acces” harus diberi
harga/nilai yang memadai.
Ini makna yang terkandung di dalam pasal 42 ayat (1)
UU No.32 Tahun 2009 tentang PPLH, bahwa” dalam rangka melestarikan fungsi
lingkungan hidup , Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan
menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup,”. Hal ini karena selama ini
lingkungan tidak diberi nilai/harga, maka dalam perkembanganya manusia atau
badan hukum (terutama yang berorintasi profit) banyak menggunakan SDA secara berlebihan
(over use), dan cenderung membabat habis tanpa berpikir akibat bagi generasi
yang akan datang. Tentu yang tersisa hanya derita dan bencana yang harus
ditanggung baik harga, benda dan nyawa. Untuk itu usaha memberi suatu biaya
lingkungan yang ada pada pasal 42-43 UU No.32 Tahun 2009 tentang PPLH, ini
sebagai langka awal untuk mereformasi dari UU sebelumnya yakni UU No. 23 Tahun
1997 tentang PLH. Gagasan yang terkandung dalam pasal tersebut, sebagai
penjawantaan dari prinsip biaya lingkungan dan sosial yang terintegrasikan ke
dalam proses pengambilan keputusan yang berkiatan dengan penggunaan SDA ,
sehingga pada akhirnya terjadi internalisasi “eksertenalitas” dalam arti
ekserternalitas harus menjadi bagian dari pengambilan keputusan. Dengan memanfatakn
instrument yang ada di UU tersebut berupa: pengaturan (larangan dan sanksi),
charge, fees, leasing, perijinan, mekanisme property right dan lain-lain.
Usaha yang sudah pernah berupa mekanisme-mekanisme
lainnya seperti program Peningkatan usaha dalam kontek program kali bersih
(Proper Prokasih) yang diterapkan di Indonesia. Menurut Mas Agus Santoso,
mekanisme yang dipakai dalm Proper Prokasih merupakan mekanisme insentif yang
terkait dengan prinsip pembangunan berlanjutan ini, Karena pada dasarnya Proper
Prokasih dan sejenisnya dimaksudkan untuk mengubah perilaku dan nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat melalui publikasi kinerja industry secara periodek.
Kedepan instrumen lingkungan hidup ini, sarana
paling cepat dalam upaya pengendalian pencemaran, sehingga Pemerintah
secepatnya membuat Peraturan Pemerintah seperti yang sudah diamanahkan dalam
pasal 43 ayat (4) UU No.32 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup baru saja disahkan. Banyak hal
yang diatur dalam Undang-Undang yang baru ini, salah satu diantaranya adalah
tentang instrumen ekonomi dalam pengelolaan Lingkungan Hidup. Subyek ini
merupakan sesuatu yang baru, pada undang-undang LH yang lama subyek ini belum
diatur. Selama ini subyek instrumen ekonomi hampir belum pernah di tangani.
Jadi hampir belum banyak orang yang mengerti apa lingkup instrumen ekonomi
dalam pengelolaan hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 32/2009, tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, instrumen ekonomi terdiri dari:
1. Instrumen
perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi
meliputi:
2. Neraca
sumber daya alam dan lingkungan hidup;
3. Penyusunan
produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup
penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup;
4. Mekanisme
kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah;
5. Internalisasi
biaya lingkungan hidup.
Instrumen
pendanaan lingkungan hidup meliputi:
1. Dana
jaminan pemulihan lingkungan hidup;
2. Dana
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup;
3. Dana
amanah/bantuan untuk konservasi.
Insentif
dan/atau disinsentif lingkungan hidup antara lain diterapkan dalam bentuk:
1. Pengadaan
barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup;
2. Penerapan
pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup;
3. Pengembangan
sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup;
4. Pengembangan
sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi;
5. Pengembangan
sistem pembayaran jasa lingkungan hidup;
6. Pengembangan
asuransi lingkungan hidup;
7. Pengembangan
sistem label ramah lingkungan hidup;
8. Sistem
penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Substansi Undang-Undang ini masih sangat umum.
Karena itu Undang-undang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk
Peraturan Pemerintah. Substansi instrumen ekonomi ini, memuat beberapa
terobosan baru dalam upaya pengendalian lingkungan hidup. Masalahnya adalah
seberapa jauh substansi ini dapat dilakukan secara operasional. Ambillah contoh
substansi instrumen pendanaan lingkungan.
Point ini membuka kemungkinan sumber-sumber pendanaan bagi pengelolaan dan
perlindungan lingkungan. ada kewajiban
dari berbagai pihak untuk menyediakan dana bagi pengelolaan lingkungan yang
lebih baik.
Instrumen ekonomi adalah amanat undang-undang,
karena itu tidak ada alasan untuk tidak melaksanakannya. Setiap orang adalah subyek dari undang-undang
ini, karena itu adalah kewajiban semua orang untuk melaksanakannya. Substansi
instrumen ekonomi, sekaligus merupakan peluang bagi usaha. Dengan undang-undang
itu, akan dikembangkan usaha-usaha untuk memfasilitasi pelaksanaan instrumen
ekonomi. Peluang usaha ini tentu akan membutuhkan tenaga kerja yang cukup baik
untuk pelaksanaannya.
Masalah lingkungan tidak selesai dengan
memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. suatu
Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih diuji dengen pelaksanaan
(uitvoering atau implementation) dan merupakan bagian dari mata rantai
pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan
kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak
dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara
bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH) mendasari kebijaksanaan lingkungan di Indonesia,
karena Undang-Undang, peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya
merupakan instrumen kebijaksanaan (instrumenten van beleid). Instrumen
kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
lingkungan dami kepastian hukum dan mencerminkan arti penting hukum bagi
penyelesaian masalah lingkungan. Instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan
(juridische milieubeleidsinstrumenten) tetapkan oleh pemerintah melalui
berbagai sarana yang bersifat pencegahan, atau setidak-tidaknya pemulihan,
sampai tahap normal kualitas lingkungan.[1])
Upaya penegakan hukum lingkungan yang konsisten akan
memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik dibidang
ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan
untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu
agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh
terhadap perbaikan pembangunan nasional.
Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan
hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
1. Penegakan
hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
2. Penegakan
Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
3. Penegakan
Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Selama ini pemerintah harus memberikan Sanksi
administrasi yang merupakan suatu upaya hukum yang harus dikatakan sebagai
kegiatan preventif oleh karena itu sanksi administrasi perlu ditempuh dalam
rangka melakukan penegakan hukum lingkungan. Disamping sanksi-sanksi lainnya
yang dapat diterapkan seperti sanksi pidana.
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah
secara ketata dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak
bagi penegakan hukum, dalam rangkan menjaga kelestarian fungsi lingkungan
hidup. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan sanksi administrasi merupakan
garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi
administrasi dinilai tidak efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi pidana
sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).
Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana
terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila :
1. Aparat
yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak
pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut, namun ternyata
tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau
2. Antara
perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi
korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa
melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah /
perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan
buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga
tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan
hidup.
Berdasarkan
jenisnya ada beberapa jenis sanksi administaratif yaitu
1. Bestuursdwang
(paksaan pemerintahan).
Diuraikan
sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari pengusaha guna mengakhiri suatu
keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau (bila masih)
melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan
dengan undang-undang.
2. Penarikan
kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin pembayaran, subsidi).
Penarikan kembali suatu
keputusan yang menguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada suatu peraturan
perundang-undangan. Hal ini tidak termasuk apabila keputusan(ketetapan)
tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifanya “dapat
diakhiri” atau diatrik kembali (izin, subsidi berkala).[3]
Instrument kedua yang diberlakukan setelah sanksi
administrative tidak diindahakan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan
lingkungan hidup adalah pengguna instrument perdata dan pidana , kedua
instrument sangsi huku ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri
sendiri .
Penerapan sanksi pidana tersebut bisa saja terjadi
karena pemegang kendali penerapan instrument sanksi pidana adalah aparat
penegak hokum dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri (PPNS) yang berada tingkat
pusat dalam hal ini di Kementrian Negara Lingkungan Hidup atau Instansi
Lingkungan Hidup Daerah dan Penyidik Kepolisian RI hal ini sebagai mana diatau
dalam ketentuan UU Nomor 23 Tahun 1997 pasal Pasal 40 :
1. Selain
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara
Pidana yang berlaku.
2. Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a) melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang lingkungan hidup;
b) melakukan
pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana
di bidang lingkungan hidup;
c) meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
d) melakukan
pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana di bidang lingkungan hidup;
e) melakukan
pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan,
catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang
hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di
bidang lingkungan hidup;
f) meminta
bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
lingkungan hidup.
3. Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan hasilpenyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
4. Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud padaayat (1) menyampaikan
hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia.
5. Penyidikan
tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif
dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan penerapan instrument perdata biasa dilakukan
oleh pemerintah maupun Masyarakat dan organisasi yang konsen terhadap
lingkungan hidup yang mempunyai Hak Untuk Mengajukan Gugatan yang di atu dlam
ketentuan Pasal 37, Pasal 38 dan Pasal 39 UU Nomor 23 Tahun 1997 mekanismenya
bisa dengan mengajukan gugatan perdata biasa secara perorangan amapun secara
class action (perwakilan). Sedangkan utuk gugatan legal stending yang
didasarkan pada suatu asumsi bahwa LSM sebagai guardian/wali dari lingkungan
(Stone;1972). Teori ini memberikan hak hukum (legal right) kepada obyek-obyek
alam (natural objects). Dalam hal terjadi kerusakan atau pencemaran lingkungan,
maka LSM dapat bertindak sebagai wali mewakili kepentingan pelestarian
lingkungan tersebut.
nice info
BalasHapus